08 June 2014

Movie Review: The Fault in Our Stars (2014)


"Some infinites are bigger than other infinites."

I’m in love with you, and I’m not in the business of denying myself the simple pleasure of saying true things. I’m in love with you, and I know that love is just a shout into the void, and that oblivion is inevitable, and that we’re all doomed and that there will come a day when all our labor has been returned to dust, and I know the sun will swallow the only earth we’ll ever have, and I am in love with you. Okay? Okay. Bring your tissues!  

Sebagai upaya untuk membangkitkan kembali semangat sang ibu, Frannie Lancaster (Laura Dern) yang perlahan hilang akibat penyakit yang ia miliki, seorang remaja putri bernama Hazel (Shailene Woodley) memutuskan untuk bergabung dalam kelompok pendukung penderita kanker yang ia hadiri lengkap dengan tangki oksigen yang setia menemaninya. Disana ia bertemu dengan atlet basket yang memiliki masalah di kakinya, Augustus Waters (Ansel Elgort), pria tampan dan karismatik yang dengan gigih berhasil memberikan kebahagiaan yang tidak ingin ia tukar dengan apapun yang eksis didunia ini. 


Meminjam sebuah kata dari rekan saya, The Fault in Our Stars adalah film yang segmented. Ini bukan sebuah komedi drama dengan roman di antara dua remaja yang mudah untuk diterima seperti The Perks of Being a Wallflower. Memang sih dengan latar cerita yang sudah gelap itu gampang buat Josh Boone untuk menyentuh lalu kemudian mengaduk-aduk emosi para penontonnya dengan hasil akhir linangan air mata, apalagi ia juga punya naskah yang setia banget dengan novel milik John Green itu. Tapi ini masalahnya, bagaimana dengan mereka yang belum membaca novelnya? Sayangnya cerita yang ditulis ulang oleh Scott Neustadter dan Michael H. Weber ini terlalu khusus, tidak umum.   

The Fault in Our Stars seperti service bagi para penggemarnya yang tentu saja sudah membaca novelnya, line-line yang mampu membuat hati terenyuh sampai tertawa kecil itu hadir meskipun beberapa bagian penting ada yang sedikit terlupakan, seperti Isaac. Tapi kayaknya film ini punya beban yang besar, jadi kelihatan hati-hati dalam bercerita, berhasil sih karena ada kesan bijak dan hormat pada cerita tapi jadinya terasa tidak lepas. Ada kesan dipaksa, beberapa saat ia terasa jujur, tapi juga sering banget terasa manipulatif dan canggung, seperti mengajak ayo dong tersentuh, ayo dong nangis dengan melihat penyakit bertarung dengan cinta. 


Seolah di tuntun, karena Hazel dan Augustus tidak dijadikan objek untuk diamati yang sebenarnya dapat menambah kekuatan kisah mereka. Alur ceritanya biasa saja meskipun humornya beberapa menarik, pengembangan karakter juga sama, tapi ada satu masalah disini, The Fault in Our Stars punya emosi yang keren, sekali saja klik akan sulit untuk lepas. Nyawa dari karakter memang tidak begitu kuat, tapi sebaliknya justru hadir di permasalahan yang mereka alami, ketika cinta yang mekar hanya punya waktu singkat untuk menjadi indah, semua karena cara mereka yang dengan terang-terangan memberikan manipulasi untuk mengemis atensi bekerja dengan baik, apalagi dengan kumpulan kata-kata yang terasa tajam dan sesekali tampak cerdas didalam dialog antar karakter.

The Fault in Our Stars memang mengandalkan banget gimana penonton menaruh simpati mereka pada masalah dan juga karakter. Meskipun dengan segala melodrama itu mereka tidak jatuh menjadi kisah yang super murahan, tetap saja The Fault in Our Stars akan menghasilkan dua sisi berlawanan, seperti pengalaman saya pada suatu adegan yang dapat mendengar isak tangis di kursi depan penonton, tapi dibelakang ada penonton yang berusaha menahan tawa mereka. Tidak heran sih mungkin karena pengaruh dari beberapa bagian yang memang terasa kosong dan hambar, meskipun dari chemistry antara dua karakter utama cukup meyakinkan dan berimbang, Woodley berhasil membuat kita luluh bersama masalahnya, tapi Elgort terasa terlalu manis. 


Dibalik segala plus dan minus yang ia miliki The Fault in Our Stars berhasil menjalankan tugas utamanya sebagai sebuah tearjerker yang efektif. Intensitas yang ia punya memang sih sedikit jauh dari harapan, tapi ada pesona yang lembut dengan perpaduan rasa sakit dan juga gairah pada inti cerita, cinta sejati. Tidak ada yang special dari cara ia diarahkan, tapi dengan akting yang baik serta script yang “bagus” dan “setia” The Fault in Our Stars berhasil berubah dari kumpulan kalimat kedalam bentuk gambar dengan permainan emosi manipulatif yang menyenangkan. Film yang mampu menyentuh dan mempermainkan emosi adalah film yang bagus buat saya. It'll easily touch womens heart.







1 comment :

  1. Tapi The Perks of Being A Wallflower juga kurang tepat kalo disebut "komedi drama dengan roman di antara dua remaja yang mudah untuk diterima", latar ceritanya gelap dan twisted *halah*

    Yang bikin top film The Fault In Our Stars itu quotes-nya hehe. "I'm a rollercoaster that only goes up." :) Nice reviews!

    ReplyDelete