12 March 2014

Movie Review: 3 Days to Kill (2014)


"My job is to hunt terrorists. I don't negotiate. Within three days, I will find you. You can start counting."

Pada awalnya ia menyebut dirinya sebagai sebuah film action dan thriller, kemudian setelah jauh berjalan mereka akan ditemani oleh sisi crime dan sedikit misteri, namun semakin jauh lagi ia berjalan kita akan menemukan sebuah twist pada warna cerita yang melengkapi berbagai genre tadi. Yap, warna-warni, tidak masalah jika berhasil dibentuk menjadi sebuah kemasan yang solid, sesuatu yang tidak mampu dicapai oleh film ini. 3 Days To Kill, it’s stupid, it’s messy, it's actually could be a sweet enough story about disposition.

Karena sebuah insiden, seorang agent CIA yang sangat berpengalaman bernama Ethan Renner (Kevin Costner) di diagnosis telah menderita kanker otak yang berkoneksi dengan paru-paru, penyakit yang mungkin akan menyebabkan Ethan suatu ketika memperoleh momen dimana ia kehilangan kontrol pada keseimbangan tubuhnya. Ethan bahkan hanya punya kesempatan hidup dalam hitungan bulan, dan dengan otomatis diberhentikan dari CIA. Ethan kemudian mencoba memanfaatkan waktu tersisa yang ia miliki untuk menebus kesalahan yang selama ini ia lakukan pada putri tercintanya yang selama ini ia tinggalkan, Zoey (Hailee Steinfeld).

Momen yang tepat datang pada Ethan, ketika mantan istrinya, Christine (Connie Nielsen), harus meninggalkan Paris untuk urusan pekerjaan dan menitipkan Zoey kepada Ethan. Namun proses upaya untuk membangun hubungan harmonis yang telah hilang bersama Zoey ternyata mendapat rintangan. Sumbernya adalah Vivi Delay (Amber Heard), CIA’s elite assassins, yang ternyata memiliki obat untuk membantu Ethan bertahan hidup lebih lama, namun mengajukan sebuah syarat dimana Ethan harus membantunya bukan hanya dalam menemukan tapi juga membunuh The Albino (Tómas Lemarquis) dan The Wolf (Richard Sammel).


Jika ada kategori yang berisikan film-film yang mampu memberikan kejutan kepada penontonnya pada sisi warna cerita, mungkin 3 Days To Kill dapat menjadi salah satu pilihan. Seperti yang disebutkan sebelumnya, action dan thriller merupakan dua genre utama yang ia usung, kemudian dibalut bersama sentuhan crime yang berisikan misteri, bahkan poster yang diberikan juga cukup mampu menggambarkan kesan gelap yang dengan otomatis membentuk ekspektasi penontonnya. Jika anda merupakan salah satu dari mereka yang berharap mendapatkan sebuah cerita spy dengan tensi tinggi penuh tembakan dan ledakan, segera buang jauh-jauh hal tersebut, karena fakta yang akan anda dapatkan sangat berbeda, dalam konteks negatif.

Permasalahan utama film ini terletak pada tone cerita. Mungkin tidak akan menjadi sesuatu yang sangat mengejutkan ketika 3 Days To Kill pada akhirnya tampil terlalu ringan jika anda terlebih dahulu mengenal tiga sosok yang berada dibelakang kendali utama. Ada McG (Charlie's Angels, This Means War) sebagai sutradara, kemudian cerita ditulis oleh Adi Hasak (From Paris with Love) dan Luc Besson (Taken, The Family). Boom, sebuah kombinasi yang lengkap, tidak heran kita akan menemukan sebuah cerita dengan permasalahan utama yang sederhana jika tidak ingin disebut dangkal, terus menggantung sembari bergerak mondar-mandir tanpa arah yang kuat, serta unsur komedi yang dipaksakan dengan beberapa pengulangan yang tidak bekerja dengan baik. 


Dari segi cerita, akan sangat mudah untuk memahami maksud dan tujuan yang ingin disampaikan dan dicapai oleh Adi Hasak dan Luc Besson, namun yang menjadi masalah adalah mereka tidak mampu menyatukan dua cerita menjadi sebuah kesatuan. Terlalu optimis mungkin lebih tepatnya, karena sejak awal saja mereka sudah membangun banyak jalan tanpa menyertakan satu clue atau plot tunggal dan kuat yang mampu menjadi pegangan bagi penontonnya. Ini film apa? Thriller? Action? Atau justru Comedy? Semua dibangun dalam kapasitas yang sama tapi tidak dibentuk dengan kepadatan yang mumpuni, menyebabkan tiap pergeseran warna yang ia hadirkan terasa sangat kasar, dan dipaksakan. Berantakan. 

Ya, berantakan, ini karena mereka melakukan percobaan dibanyak elemen cerita yang menyebabkan tidak hadirnya kesan totalitas baik itu pada materi dan eksekusi yang mumpuni. Ketika sudah bingung pada ingin menjadi apa film ini, kita kemudian juga akan disuguhkan hiburan yang lebih banyak berisikan upaya keras dari McG, Adi Hasak, dan Luc Besson untuk menyeimbangkan setiap warna cerita. Hasilnya, tidak ada feel disini, beberapa bagian tidak dapat dipungkiri memang berhasil tampil lucu dan menghibur, namun itu minor dan selebihnya hanya berisikan upaya memanjangkan cerita dengan hal-hal yang terasa canggung ditemani materi klasik yang tampil datar dan lesu tanpa kejelasan.

Sebut saja 3 Days To Kill adalah petualangan sempit yang bergerak random sesuka hati, dan jika anda dapat memaafkan hal tersebut mungkin ini dapat menghibur. Tumpukan sub plot yang canggung tanpa tujuan, tanpa urgensi, mencoba serius namun juga mencoba tampil lucu secara bersamaan, ditemani karakter yang tipis dalam cerita yang bergerak lambat dan kerap kehilangan momentum. Jika mereka mau memilih untuk menjadikan salah satu plot sebagai inti utama, ini mungkin dapat menjadi sebuah kemasan bodoh dan ringan yang menyenangkan, kita bahkan mungkin akan sedikit memaafkan karakter yang kekurangan emosi dan chemistry antara Kevin Costner dan Hailee Steinfeld, hingga Amber Heard yang kurang berhasil mewujudkan feel dari seorang femme fatale yang seksi.


Overall, 3 Days To Kill adalah film yang kurang memuaskan. Tentu bodoh mengharapkan sebuah hiburan yang cerdas dari tipe film seperti ini, namun tidak salah untuk mengharapkan hiburan bodoh yang mampu menghibur. 3 Days To Kill tidak mampu menyajikan hal tersebut, ia terlalu sombong dalam menebar berbagai plot dengan warna yang berbeda, berupaya membuat dirinya tampak megah namun justru disisi lain ikut menjadikan ia sebuah film yang seperti tidak tahu ingin menjadi apa, film yang tidak punya identitas. Ini tidak hancur, tidak membosankan malah, namun diluar adegan yang berisikan lelucon menarik seperti ringtone I Love It, serta kehadiran The Albino dan The Wolf, ini adalah sebuah drama komedi yang datar.



0 komentar :

Post a Comment