12 November 2014

Review: The Rewrite (2014)


Film terbaru dari penulis Miss Congeniality ini adalah sebuah hiburan yang licik, ia seperti tahu apa saja materi yang dapat ia manfaatkan untuk menarik perhatian penonton, kemudian mempertahankan atensi mereka, semua untuk melindungi berbagai kelemahan yang ia miliki. Hasilnya tidak begitu buruk, ia standard bahkan terasa sangat lunak, tapi at least The Rewrite mampu memberikan sebuah rom-com klise dan klasik yang cukup menghibur di beberapa bagian kecil.

Keith Michaels (Hugh Grant) merupakan penulis naskah yang pernah meraih Oscar, namun berbagai masalah silih berganti menghampirinya, dari perceraian hingga kebangkrutan. Tuntutan ekonomi itu memaksa Keith untuk menerima pekerjaan mengajar screenwriting di Binghamton University. Tapi ternyata tujuan sederhana tadi mulai bergerak kearah berbeda ketika ia telah tampil di depan kelas, dan sumbernya adalah wanita, dari siswanya Karen (Bella Heathcote), kepala universitas, Mary Weldon (Allison Janney), hingga seorang single mother bernama Holly Carpenter (Marisa Tomei).



The Rewrite merupakan film keempat Marc Lawrence sebagai sutradara, dan juga merupakan kerja samanya yang keempat dengan aktor utamanya, Hugh Grant. Hal tersebut mungkin terkesan kurang penting, tapi nilai positif yang dimiliki oleh film ini banyak berasa dari kemampuan Marc Lawrence untuk “memanfaatkan” Hugh Grant, bahkan kesan yang saya rasakan cerita sendiri seperti tidak di upayakan untuk menjadi fokus utama disini, hanya seperti sebuah panggung untuk dua karakter utamanya bermain-main dengan chemistry mereka yang tidak begitu buruk itu, mereka berhasil dibuat agar tampak menarik, dan apa yang mereka hadapi dalam juga mampu menebar pesona yang dapat dikatakan efektif untuk sesekali meraih atensi penontonnya.


Tapi sayangnya keputusan itu sendiri terhitung sebuah gambling, hit or miss, jika apa yang mereka rencanakan bekerja pada anda mungkin berbagai hal standard yang ia berikan tidak akan begitu menjengkelkan, tapi tidak jika yang terjadi justru sebaliknya. Ada beberapa lelucon yang mampu menciptakan tawa, bagian sentimental juga cukup berhasil mengundang senyuman, tapi dengan keterbatasan pada materi itu sejak awal hingga akhir film ini tidak pernah mencoba memberikan sesuatu yang dapat mendorong mereka untuk tidak hanya sekedar menjadi film dalam level cukup. Memilih bermain sangat aman, berputar-putar dan minim kejutan, The Rewrite sering kali terasa datar.


Alur cerita yang kurang mengalir menjadi masalah utama, kisah cinta antara Holly dan Keith yang sesungguhnya tampak manis itu juga tidak berhasil di jadikan pusat cerita yang benar-benar kuat, terasa tanggung, terlalu ringan dalam struktur konvensional yang diterapkan. Kisah cinta itu tidak mampu Marc Lawrence bentuk agar lebih berwarna, lebih menggoda, terasa kering dan tipis, dan itu cukup disayangkan mengingat karakterisasi yang ia berikan sejak awal sebenarnya sudah menarik. Itu yang menjadikan karakter pendukung sering kali berhasil mencuri perhatian dengan momen-momen lucu yang mereka miliki, seperti Allison Janney dan J. K. Simmons .



Tidak salah memang menciptakan sebuah film standard yang bahkan sejak awal sudah tampak memilih untuk bermain aman, tapi tetap saja ada tugas agar bagaimana film tersebut tetap berada di level aman ketika ia telah berakhir. The Rewrite cukup berhasil dikendalikan oleh Marc Lawrence untuk tetap aman ketika ia berakhir, karakter menarik yang mampu menutupi minus pada cerita di bagian awal walaupun tidak mampu ia manfaatkan dengan cermat untuk terus menjaga ketertarikan penonton padanya, sehingga ketimbang menghasilkan rom-com dengan gejolak di level atas untuk berupaya meraih klimaks, disini kita lebih sering ditempatkan di level bawah, bermain-main antara datar, cukup baik, datar, cukup baik, dan seterusnya.








0 komentar :

Post a Comment