09 January 2015

Review: The Woman in Black 2: Angel of Death (2015)


"She never forgives. She never forgets. She never left."

Mudah sekali untuk mengatakan bahwa The Woman in Black 2: Angel of Death merupakan sekuel yang dipaksakan kehadirannya, karena film pertamanya yang muncul dua tahun lalu pada dasarnya juga kurang berhasil meninggalkan impresi yang kokoh. Bukan berarti ia tidak menarik tapi The Woman in Black meninggalkan materi yang terhitung tipis untuk dilanjutkan dan celakanya dari situ pula kemunculan masalah besar yang menyakiti film ini. Sebuah horror yang gagal tampil menakutkan.

Guru sekolah bernama Eve Parkins (Phoebe Fox) dan Jean Hogg (Helen McCrory) melakukan evakuasi pada siswa mereka menuju sebuah pedesaan kala London diserang diserang Jerman pada perang dunia ke dua. Celakanya ketika telah berhasil dari kandang harimau mereka ternyata harus masuk kedalam kandang singa, masuk kedalam Eel Marsh House, rumah yang 40 tahun lalu memberikan pengalaman mengerikan pada Arthur Kipps (Daniel Radcliffe), berawal dari tingkah aneh Edward (Oaklee Pendergast) hingga fenomena aneh yang berujung pada roh jahat. 



The Woman in Black 2: Angel of Death  terasa identik dengan pendahulunya dua tahun lalu, tapi celakanya itu hanya terjadi di bagian pembuka. Sebenarnya awalan yang diciptakan oleh Tom Harper serta screenplay karya Jon Croker dapat dikatakan tidak begitu buruk, cara mereka membuka masalah sebelum akhirnya kembali menuju cara paling klasik dari sebuah film horror dengan menjebak karakter dengan misteri sebuah bangunan terhitung cukup baik. Saya suka dengan setting awal yang mereka berikan, suasana creepy cukup oke, karakter juga terasa menarik untuk di ikuti, tapi tidak tahu apakah mereka bingung atau pemalas setelah bagian awal yang cukup menjanjikan itu yang saya peroleh adalah perjalan yang monoton, menjengkelkan, membosankan, dan yang lebih kesal adalah terkesan sok hebat.



Itu yang saya benci dari film ini dimana ia seperti memposisikan kita sebagai penonton yang mengemis untuk di takuti. Bukan berarti saya menuntut ia untuk tampil pintar, sesuatu yang tidak menjadi acuan utama kenikmatan sebuah film horror, takuti saja saya dan itu cukup. The Woman in Black: Angel of Death tidak tampil seperti itu, seolah ingin bermain-main dan membuat kita menanti tapi ketika “momen” itu hadir bukannya sebuah “Booo!!” mengejutkan dan menakutkan yang saya dapatkan melainkan sebuah gothca lembek yang justru akan membuat kamu menertawakannya. Ya, tertawa, bukan sesuatu yang taboo untuk hadir di sebuah film horror tapi jika terlalu sering penonton tertawa ketimbang merasa waspada akibat atmosfir yang mereka rasakan itu menandakan film horror tersebut sudah gagal menjadi “horror”.



Dan seperti yang disebutkan di awal tadi kalau pada dasarnya sebagai penerus film ini memang tidak memperoleh dasar yang kuat dari pendahulunya. Tapi itu tidak bisa dijadikan alasan dari kegagalannya karena jika mereka masih menerapkan nilai positif dari film pertamanya disini saya rasa ia dapat berakhir di posisi yang lebih baik. Film pertama tenang dan punya proses yang menarik di ikuti dan sabar dalam membuka misteri, itu membuat kita terus berjalan bersamanya meskipun cerita tidak istimewa. Film ini tidak melakukan itu, ia tidak tenang dalam memainkan proses, ia tidak sabar dalam mengembangkan materi baik itu drama hingga hal-hal creepy, dan hasilnya cerita yang sejak awal tidak istimewa perlahan menjadi bahan canda penonton untuk tertawa. Itu aneh karena seperti yang saya singgung tadi setting awal film ini sudah bagus tapi ia tidak berhasil membuat penonton mengantisipasi apa yang kemudian akan terjadi.



Kamu masih ingat dengan Annabelle? Ya, begitulah kira-kira hiburan yang diberikan oleh The Woman in Black 2: Angel of Death. Sebuah sekuel yang underwhelming, petualangan bersama narasi yang miskin urgensi, jump scare yang bukannya menakutkan namun justru terasa norak, sebuah horror membosankan yang tidak mampu menjalankan tugas paling sederhana dari sebuah film horror: membuat penontonnya merasakan rasa takut di sekitar mereka. As Above, So BelowOuija, Annabelle, sambut dengan hangat teman baru kalian. Oh ya, coba lihat gambar terakhir di atas, kira-kira begitulah ekspresi saya sepanjang film. 








0 komentar :

Post a Comment