08 February 2015

Movie Review: Still Alice (2014)


"I find myself learning the art of losing every day."

Sepintas jika hanya menilik sinopsis yang ia tawarkan film ini terasa sangat sederhana, seorang wanita yang mengidap suatu penyakit dan harus berjuang menghadapi rasa sakit tersebut, namun sesungguhnya tugas yang ia emban jauh lebih sulit dari itu. Isu terkait penyakit yang dibawa merupakan sesuatu yang sangat sensitif dan dari sana ia punya banyak kewajiban, dari menjadikan penonton merasakan perjuangan karakter, membentuk agar cerita mampu menawarkan informasi terkait penyakit tersebut, tapi di sisi lain ia juga harus mampu memberi “treat” yang hormat pada isu tersebut agar tidak memberi dampak negatif pada para pasien asli di dunia nyata. Film ini berhasil menggambarkan hal-hal tadi dengan manis. Still Alice, a simple and very understated drama. 

Alice Howland (Julianne Moore) dapat dikatakan merupakan wanita yang kini seharusnya hanya tinggal menjalani masa tuanya dengan bahagia, mengisi hari-hari dengan suaminya John Howland (Alec Baldwin) dan sesekali berhubungan dengan tiga orang anaknya yang telah dewasa, Anna (Kate Bosworth) yang merupakan seorang pengacara, Tom (Hunter Parrish) yang masih menyandang status mahasiswa, dan Lydia (Kristen Stewart) yang terus menjaga mimpinya untuk menjadi seorang artis. Namun suatu ketika disaat sedang memberikan presentasi di Columbia University mendadak Alice mengalami masalah ketika sedang berbicara, pengalaman aneh yang ternyata kembali ia rasakan ketika sedang melakukan jogging. 

Kondisi penuh rasa bingung tersebut yang kemudian membuat Alice untuk pergi ke seorang ahli saraf dan mencari tahu penyebab hal aneh yang terjadi padanya tersebut, dan celakanya berita yang ia peroleh tidak ringan. Alice di diagnosis sedang berada di tahap awal dari sebuah penyakit bernama Alzheimer, penyakit yang menyerang sel-sel di bagian otak. Alice dan John memutuskan untuk merahasiakan hal tersebut dari anak-anak mereka namun masalahnya adalah salah satu penyebab dari penyakit Alzheimer adalah faktor keturunan sehingga anak-anak mereka juga memiliki potensi untuk memperoleh penyakit tersebut ketika mereka tua nanti.


Jika harus menjelaskan Still Alice secara sederhana mungkin cara termudah adalah dengan menggunakan perbandingan, dimana dari eksekusi hingga emosi ia merupakan kebalikan dari studi karakter lain yang mencoba mengangkat perjuangan karakter dalam menjalani kehidupan penuh tekanan berjudul Cake. Ya, mereka ibarat langit dan bumi, dan Still Alice mewakili kemasan dengan penggambaran yang terasa mumpuni. Sebenarnya ini sangat sederhana, dan dari cara sutradara Richard Glatzer dan Wash Westmoreland membentuk cerita yang mereka tulis sendiri tersebut juga tidak ada kesan dimana mereka coba mencuri atensi anda lewat sebuah dramatisasi yang berlebihan, namun ketidak tertarikan mereka pada hal-hal dramatis tersebut pula yang menyebabkan Still Alice seperti sebuah kotak pandora misterius yang menarik terkait penyakit Alzheimer.

Ya, saya memilih untuk menyebut Still Alice sebagai kotak pandora misterius karena kesan yang timbul dari tahapan yang ia berikan seperti sebuah menemukan sebuah kotak besar yang ketika dibuka kita akan kembali menemukan kotak berukuran lebih kecil didalamnya dengan warna yang secara periodik terus berubah menjadi lebih gelap. Itu yang menarik dari Still Alice, kita seolah diberikan tiga bagian yang sejak awal terus berjalan secara beriringan, dari subjek yang sangat menarik untuk di amati, kemudian ada objek dalam bentuk penyakit yang disini di eksplorasi dampak yang ia hasilkan dengan sangat efektif, tapi yang lebih menarik lagi adalah kombinasi di antara dua bagian tadi tidak pernah menemani penonton dengan rasa takut dari konsekuensi yang ditimbulkan oleh penyakit Alzheimer, namun sebaliknya ia terus menerus menonjolkan harapan bagi karakter di dalam cerita.


Komposisi tadi yang menyebabkan film ini terasa menarik, ketika cerita melangkah maju penonton memperoleh penggambaran yang secara konsisten mampu menarik mereka untuk mengamati apa yang sedang terjadi secara lebih mendalam. Sesungguhnya berbicara tentang special selain penampilan Julianne Moore tidak ada elemen lain yang mampu duduk manis di level special, tapi kerja sama diantara mereka yang justru sanggup mendorong Still Alice terus stabil hingga akhir dan terasa memikat. Sebuah saja dari penggunaan pov yang berasal dari korban dalam menyaksikan perubahan kondisi yang semakin memburuk, lalu cara ia mempermainkan sentimentalitas isu agar tidak jatuh menjadi melodrama murahan, kemudian bagaimana cara ia melepas kita para penonton untuk mengidentifikasi apa yang ia berikan dengan cara yang mudah, tanpa manipulasi yang rumit namun tetap berhasil menciptakan impact yang powerfull pada cerita.

Ya, keputusan untuk tidak menciptakan kompleksitas yang besar sebagai upaya menunjukkan cerita apalagi rasa sakit karakter tersebut yang menjadikan Still Alice menarik, ia mampu membuat penonton tidak hanya memikirkan hubungan Alzheimer dan Alice, namun juga hubungan Alzheimer dengan penderita lain di luar sana. Kita dibawa masuk kedalam pikiran Alice, dari rasa frustasi dan putus asa, kemudian kita juga dibawa seolah ditempatkan menjadi salah satu anggota keluarga Alice, merasakan perih dari menyaksikan orang yang kita kasihi menderita, tapi uniknya kita tidak selamanya terjebak disana karena ada hal lain yang mampu membawa atensi kita kembali berpindah. Contohnya seperti hal-hal medis yang bukan ketika ia hadir terasa informative namun setelah itu akan membuat hati anda hancur, menggesek rasa peka anda untuk kemudian menyuntikkan rasa pilu kedalamnya.


Dan puncaknya adalah sebuah kepedihan yang sangat besar di bagian akhir, sebuah konklusi yang memikat dari eksplorasi berisikan perjuangan hingga pertengkaran serta berbagai rasa yang saling tumpang tindih, dan menariknya itu berkat ketegangan yang sebelumnya terus menerus dijaga agar tidak melebihi limit. Hal tersebut yang berhasil dimanfaatkan dengan sangat baik oleh Julianne Moore, ia mempermainkan nuansa dengan cantik, performa yang sangat terkendali, ia tidak hanya menjadikan Alice sebagai karakter yang mudah untuk di indentifikasi secara emosi namun yang ia juga membawa derita mental yang dialami Alice terus meningkat secara bertahap tanpa disertai lompatan yang mencolok, perlahan namun semakin menyakitkan. Tapi dampaknya pemeran lain menjadi kurang begitu mencolok meskipun tampil efektif.


Overall, Still Alice adalah film yang memuaskan. Bukankah akan lebih menyedihkan ketika anda menyaksikan sosok yang anda sayangi menjalani hari-harinya dengan tenang meskipun ia tahu bahwa sebuah penyakit sedang berkembang di dalam tubuhnya? Kondisi tersebut yang ditampilkan dengan baik oleh film ini, menyaksikan perjuangan dari seorang wanita yang mengalami destruksi mental dengan pendekatan melankolis namun menariknya tanpa disertai sandiwara yang sangat murahan, memilih untuk tidak mencuri atensi penonton dengan cara yang berlebihan namun tetap menghasilkan impact yang besar baik pada emosi dan hal-hal medis berkat kemampuannya menjadikan kerusakan, perjuangan, hingga harapan yang dialami oleh karakter mudah untuk di akses, di identifikasi, dan di rasakan.








1 comment :