23 February 2015

Review: Fifty Shades of Grey (2015)


"If you were mine, you wouldn't be able to sit down for a week."

Fifty Shades of Grey is like a foreplay without climax. Ya, mayoritas dari kamu pasti sudah tahu bahwa tema yang dibawa oleh film yang berhasil menciptakan kehebohan dengan menjadi film R-rated dengan penjualan tercepat dalam sejarah Fandango ini adalah seks, apa yang ia jual adalah relationship penuh gairah membara, dan apa yang kita harapkan sebagai penonton adalah hiburan yang mampu menggoda hingga membakar gairah dan imajinasi kita. Jika anda merupakan salah satu penonton yang mencintai novelnya, maka bersiaplah kecewa. Jika anda bagian dari tim yang bahagia ketika Twilight Saga telah berakhir, maka bersiaplah untuk waspada. A softcore porn version of Cinderella. (Warning: review contains some strong image who might be an age-inappropriate content).

Sakit yang diderita oleh teman sekamarnya justru membawa Anastasia "Ana" Steele (Dakota Johnson) kedalam sebuah masalah. Ana diminta oleh temannya mewawancarai Christian Grey (Jamie Dornan), pria berusia 27 tahun yang juga merupakan seorang miliarder muda. Mister Grey punya aura yang mengintimidasi yang kemudian membuat Ana menerima sebuah permintaan dari Grey setelah mereka beberapa kali bertemu secara “sengaja”. Celakanya permintaan Grey bukan sesuatu yang biasa. Grey meminta Ana untuk terlibat dalam sebuah hubungan seksual yang mengharuskannya menuruti dan patuh pada Grey, meskipun perlahan Ana yang merupakan seorang perawan mulai merasa bingung dengan segala sesuatu yang terjadi didalam hubungan tersebut. 



Menjelaskan film ini sebenarnya sangat-sangat mudah, bahkan ia dapat diwakili oleh sebuah kalimat yang terdiri dari beberapa kata yang saya suka dari Fifty Shades of Grey, “He was polite. Intense. Smart. Really intimidating”. Sopan, intens, pintar, dan sangat mengintimidasi, kamu putar makna dari masing-masing kata tadi atau tambahkan kata tidak didepannya, maka itu yang akan kamu dapatkan dari film ini. Ketimbang jadi hiburan yang mampu mempermainkan gairah penontonnya dibawah kontrol Sam Taylor-Johnson film ini justru terasa seperti satu pria dan satu wanita yang tersesat dalam hubungan penuh melodrama. Ini seharusnya menjadi film yang membakar fantasi penonton, membawa mereka bergembira dengan masuk kedalam berbagai imajinasi liar dari percakapan yang menggoda hingga aksi BDSM penuh kinky, bukannya menjadi drama romance standard yang menyia-nyiakan materi erotis yang ia punya.



Mari mulai dengan mengintimidasi, sesuatu yang sulit saya temukan di sini. Sam Taylor-Johnson membentuk set dingin pada cerita di awal dengan oke tapi setelah itu ia seperti tidak mau untuk tumbuh menjadi panas. Masalah Fifty Shades of Grey tidak berhenti di situ karena gerak cerita sendiri terasa lambat, tidak dinamis, mengalami beberapa pengulangan yang mengganggu sehingga Ana dan Christian seperti hanya berputar-putar di sebuah lingkaran yang kacaunya lagi eksis didalam cerita yang sejak sinopsis hingga secara keseluruhan sangat minimalis. Tidak ada ketegangan yang mengancam seperti yang diberikan oleh sumbernya, Sam Taylor-Johnson seperti mengandalkan suasana untuk membuat penonton merasa gelisah tapi celakanya tidak ia sertai dengan hal penting lainnya: karakter yang mempesona. Dari sini semua semakin kacau, sudahlah tidak intens ia juga gagal menciptakan intimitas yang menarik untuk penonton saksikan.



Cukup kaget juga sebenarnya karena intimitas merupakan hal utama yang menjadikan Nowhere Boy tampil menarik ditangan Sam Taylor-Johnson, dan disini ia lebih sering berusaha mencoba berbagai cara untuk menciptakan intimitas itu, mempertahankan materi yang gelap sambil menghadirkan upaya-upaya nakal, tapi mayoritas dari mereka tidak bekerja dengan tepat. Dialog misalnya, ditulis ulang oleh Kelly Marcel lebih sering menjadikan percakapan tampak menggelikan ketimbang mengintimidasi, dan contoh lainnya adalah teknik close-up seperti adegan seks yang tidak jarang terasa kosong. Iya, Fifty Shades of Grey terasa kosong, dan kejutan lain juga hadir dari sini, dari durasinya yang dua jam itu adegan seks mendapatkan jatah yang sangat minim, dan sudahlah minim banyak dari mereka berada di kualitas yang miskin, bahkan terhitung kalah telak jika dibandingkan dengan beberapa humor yang sukses membuat saya tertawa.


Lengkap sudah, dari rasa mengintimidasi yang nihil, pesona karakter yang juga tidak baik, emosi dan intimitas yang seperti sulit untuk tumbuh, lalu ada humor yang menarik didalamnya. Ketimbang merasa tergoda dan mulai berfantasi saya lebih sering mengernyitkan dahi karena rasa aneh yang film ini berikan. Chemistry juga jadi masalah besar, dan sepertinya isu hubungan yang kurang harmonis antara DJ dan JD bukan sebuah upaya membangun hype belaka. Di beberapa scene kamu dapat merasakan bahwa keduanya terasa tidak nyaman saat berinteraksi, contohnya scene bathtub. Obsesi antar karakter yang mereka mainkan juga lemah, dan secara individual juga mereka tidak berhasil tampil menarik, Dornan gagal  memberikan kita power dan control yang dimiliki oleh Grey, sedangkan Dakota mungkin merasakan apa yang dialami oleh Kristen Stewart di Twilight, naskah dan eksekusi yang tidak mumpuni sehingga menghalanginya untuk bersinar. Ana seharusnya menjadi puppy yang menjengkelkan sehingga tampak menggoda, dan film ini juga seharusnya tentang bagaimana Ana bertumbuh, bukannya justru mengamati kondisi kacau di psikologi miliknya.



Oh ya, yang terakhir tidak sopan. Seperti yang saya sebutkan di awal tadi ini seperti foreplay yang tidak mau membawa kamu menuju klimaks. Alasannya? Sekuel!! Ya, waspadalah. Fifty Shades of Grey meman berhasil membuat penonton gelisah tapi bukan dengan menggoda fantasi dan imajinasi mereka melainkan gelisah dengan kekakuan yang ia tampilkan dengan gerak mondar-mandir yang lamban bersama dialog yang menggelikan, meskipun beberapa hal konyol bisa dibilang terasa cukup menghibur. Tidak mengintimidasi, tidak intens, tidak pintar, dan hingga akhir ia hanya ingin menggoda sehingga juga tidak sopan. Fifty Shades of Grey  mungkin tidak membosankan tapi ia merupakan kumpulan imajinasi yang melelahkan. Acceptable? Maybe yes. Boring? Probably. Dissapointing? Absolutely yes. A softcore porn version of Cinderella, it’s like a foreplay without climax.








3 comments :

  1. Sebagai penggemar novel dari E.L James ini, saya absolutely agree with this review!

    ReplyDelete
  2. yep....jamie terlalu manis untuk jadi Mr.grey kurang gelap,intense,misterius dan garang hahahahaha :) kak @riringina recommend film YA yg bagus dong XO

    ReplyDelete
  3. Semua perasaan saya terhadap film ini tertumpahkan dalam review ini. I mean, Twilight film yang menyek2, FSOG? Entahlah.. Chemistrynya benar2 hancur, romancenya juga gak dapet, adegan sex-nya pun payah. Saya tertawa geli ketika Ana bilang mengintimidasi.. Seriously? Kalau yang semacam itu mengintimidasi, mungkin si Ana bakal kecing berdiri kalo ketemu dr. Hannibal Lecter di Silence of The Lamb.

    ReplyDelete