20 April 2013

Movie Review: A Late Quartet (2012)

 

Everything has a limit. Ada saat dimana semua karya gemilang yang telah anda bangun selama puluhan tahun lamanya dengan disertai usaha yang begitu keras pada akhirnya memaksa anda untuk melepaskan mereka. Pada awalnya mungkin akan menjadi hal yang sulit untuk diterima, namun terus memaksakan tentu bukan pula sebuah keputusan yang baik. A Late Quartet, mungkin terkesan kecil dan sangat jauh dari kesan megah, namun mampu menjadikan konflik yang ia bawa menjadi sebuah bahan renungan yang menarik bagi penontonnya.

Robert Gelbart (Philip Seymour Hoffman), Peter Mitchell (Christopher Walken), Juliette Gelbart (Catherine Keener), dan Daniel Lerner (Mark Ivanir), merupakan empat sekawan yang tergabung dalam sebuah kuartet alat musik gesek bernama The Fugue. Mereka sangat terkenal, bahkan sedang dalam proses untuk mempersiapkan konser untuk merayakan anniversary kelompok mereka yang ke 25 tahun, setengah abad, sebuah pencapaian yang tentu sangat menakjubkan. Namun ketika mereka sedang melakukan latihan dalam rangka persiapan, Peter mendapati sebuah fakta yang menjadi sebuah berita mengejutkan bagi kelompoknya.

Peter terserang Parkinson, penyakit yang menyerang saraf sehingga menyebabkan Peter mulai kehilangan gerakan responsif dari tubuhnya. Sebuah keputusan berat ia ambil, dimana Peter memutuskan untuk pensiun dari The Fugue, dan mempersiapkan seorang wanita bernama Nina sebagai penggantinya. Tidak mudah, karena Nina telah menjadi bagian penting dari sebuah kelompok musik milik sahabat Peter. Semua semakin kacau ketika Robert mulai menunjukkan egonya dengan menginginkan posisi Daniel sebagai first violin, dan Juliette yang mengaku tidak sanggup untuk melanjutkan partisipasinya di The Fugue tanpa kehadiran Peter. The Quartet in danger.


Jangan terkecoh dengan tema utama yang film ini coba tawarkan. Memang benar, konflik utama memiliki nafas music yang sangat kuat, namun ternyata bukan itu hal utama yang ingin Yaron Zilberman dan Seth Grossman berikan kepada penontonnya. Semua berawal dari masalah Parkinson, dimana sebuah kelompok yang sangat solid terurai dengan cara yang dingin, dan perlahan mulai berisikan rasa frustasi yang di sebar di semua karakter melalui konflik-konflik pendukung. Jujur saja, script yang ditulis Zilberman dan Grossman pada awalnya terasa manis bagi saya, cukup menjanjikan berkat ketenangan yang ia tawarkan.

Tapi ini alasan mengapa saya menganggap bagian tengah merupakan bagian yang sangat krusial bagi sebuah film yang telah memberikan sebuah kemasan menjanjikan di tahap perkenalannya diawal. A Late Quartet mulai terlihat kehilangan fokusnya. Alih-alih mengusung permasalahan Parkinson di baris terdepan dengan menggambarkan perjuangan dari Peter, film ini justru mulai terjebak dalam konflik-konflik pendukung yang secara mengejutkan mampu mencuri perhatian. Hubungan suami istri yang tidak harmonis, salah pemahaman antara anak (yang diperankan dengan cukup baik oleh Imogen Poots) dengan ibunya, hingga sebuah kisah cinta yang sanggup menciptakan momen-momen awkward.

Memang mengasyikkan, dan jujur saja impresi awal yang diberikan oleh beberapa sub-plot tadi seperti sebuah kejutan bagi saya. Ya, karena sejak awal saya telah mengharapkan sebuah perjuangan dari seorang penderita Parkinson untuk dapat pulih dan kembali bermusik. Tapi apa yang saya dapatkan justru sebaliknya, kisah Peter seolah hanya seperti sebuah pintu untuk membawa anda masuk kedalam konflik-konflik lainnya. Meskipun dikembangkan dengan baik oleh Zilberman, dan di perankan dengan sangat baik oleh empat pemeran utama, hal tersebut justru menghadirkan sebuah pertanyaan, apa point yang ingin “mereka” berikan terhadap konflik utama lewat kehadiran "mereka" dalam cerita?

Ini seperti masuk ke sebuah labirin, masuk dari pintu A, berputar-putar di banyak jalan yang tersedia, dan keluar di pintu B tanpa sebuah excitement yang besar. Perjuangan, dedikasi pada musik, pengorbanan, cinta, hingga luka, semua terasa seperti dihantarkan sesuai dengan standar yang berlaku. Mereka seperti hanya dimanfaatkan sebagai media untuk memperkenalkan anda pada pesan yang mereka bawa, tanpa coba digali sedikit lebih dalam. Hasilnya, ada yang sukses membuat anda tersentuh, namun mayoritas dari mereka justru terasa klise yang justru menyebabkan kekacauan di bagian tengah cerita.

Tapi Zilberman tahu apa yang harus dilakukan pada script yang punya power kurang meyakinkan agar menjadi tampak berkualitas, yakni menggunakan aktor yang juga berkualitas. Sebuah tim yang berisikan pilihan yang terasa tepat, meskipun ketika mulai beraksi bersama violin dan cello sangat sulit untuk merasakan feel dari seorang musisi dari penampilan yang mereka berikan. Diluar itu, Walken, PSH, Keener, dan Ivanir mampu menjadikan serta menjaga agar drama yang tercipta diantara mereka menjadi menarik. Imogen Poots juga sukses menjadi scene stealer ketika ia hadir.


Overall, A Late Quartet adalah film yang cukup memuaskan. Cukup menjanjikan diawal, film ini mulai berubah sedikit kompleks di bagian tengah yang sayangnya merupakan bagian yang paling banyak menghadirkan kekecewaan ditengah performa dari para pemerannya yang terjaga dengan baik. Kuantitas konflik pendukung yang memiliki power selevel dengan konflik utama terlalu banyak, sehingga menjadikan perjuangan Peter seperti hilang dibawah “pertunjukkan” mereka di tengah cerita. Pesan yang ia bawa memang sangat mampu menjadi bahan sebuah pembelajaran yang menarik, sayangnya tidak diberikan power yang kuat agar dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama.



0 komentar :

Post a Comment