30 July 2013

Movie Review: Drinking Buddies (2013)


Love and doubt have never been on speaking terms (Kahlil Gibran). Yap, cinta adalah kecocokan jiwa, dan jika itu tidak pernah ada, cinta tak akan pernah tercipta. Itu mengapa banyak orang mengatakan koleksi, kemudian seleksi, dan berakhir di resepsi. Anda harus memilih, memilih yang terbaik dari yang terbaik bagi anda, sosok yang anda yakini sepenuh hati akan menemani anda hingga anda mati. Drinking Buddies, simple, segmented, surprisingly nice, a comedy about knowing when to say when.

Kate (Olivia Wilde) dan Lukas (Jake Johnson), rekan kerja di sebuah pabrik pembuatan bir, memiliki hubungan persahabatan yang sangat sangat dekat, dari minum bir bersama, hingga saling menggoda tanpa merasa canggung sama sekali. Karakter yang identik, jiwa bebas yang humoris, menjadikan siapapun yang melihat Kate dan Lukas pasti akan beranggapan bahwa mereka adalah dua individu yang sangat cocok menjadi pasangan kekasih. Sayangnya, mereka telah memiliki hal tersebut, terpisah.

Kate menjalin hubungan dengan Chris (Ron Livingston), seorang produser musik, dan Lukas telah menjalin hubungan selama enam tahun bersama Jill (Anna Kendrick), yang bahkan telah membahas masalah pernikahan. Sayangnya dua kekasih mereka itu adalah tipikal seorang yang serius, dan menghadirkan rasa ragu pada Kate dan Lukas, apakah mereka pilihan yang tepat untuk menjadi pendamping hidup mereka, terlebih dengan batas pertemanan antara mereka yang pelahan mulai terasa semakin tipis.


Daya tarik utama film ini sebenarnya bukan terletak pada beberapa nama besar yang ia miliki di divisi akting, melainkan Joe Swanberg, salah satu insan di perfilman Indie USA yang terkenal dengan prinsip “out of the box” miliknya, punya lebih dari selusin film hanya dalam kurun waktu delapan tahun, tahun lalu sempat membuat sebuah kehebohan lewat debat yang ia lakukan di ring tinju dengan salah satu kritikus yang tidak ia suka. Tidak cukup sampai disitu, pernyataan yang Swanberg lontarkan -believe it or not- bahwa film ini dibangun hanya dengan sebuah konsep kasar, perkenalan dengan aktor lewat skype dan mulai bertukar opini, serta dialog yang “masih” bergantung sepenuhnya kepada kebebasan yang diberikan pada para aktor, well, itu menarik.

Ini adalah sebuah tontonan yang menarik tentang sebuah peperangan antara ikatan persahabatan melawan hubungan asmara, yang bercampur dengan rasa tidak nyaman dibarengi godaan yang menimbulkan dilemma. Hanya dengan sebuah pertanyaan, mana yang akan anda pilih, melepas kisah asmara yang telah terbangun kokoh demi mendapatkan sosok yang punya karakteristik dari pasangan ideal yang anda impikan, atau justru sebaliknya. Dua warna yang yang tampil sama baiknya menjadikan rasa ragu ikut berjalan dalam cerita, hal yang membuat penontonnya semakin penasaran pada pilihan akhir, sembari terus waspada pada sebuah ledakan akibat intensitas gesekan yang dibangun dengan baik secara bertahap.

Karakter menjadi kunci kesuksesan film ini. Mereka seperti berada di zona netral, dibalut bersama dengan kebimbangan dan rasa lelah pada hubungan masing-masing, dibantu dengan sebuah kesempatan yang membuka jalan bagi mereka untuk keluar dan mencari siapa yang sebenarnya terbaik untuk mereka. Selain itu mereka berhasil dibentuk dengan indah dan efektif, interaksi yang terlihat natural, mampu membuat penontonnya merasa seperti menjadi salah satu dari mereka, apalagi konflik yang dibawa adalah sesuatu yang begitu familiar dan mudah untuk anda temukan di kehidupan nyata. Ya, mereka menjadikan film ini tampak nyata.


Drinking Buddies adalah bukti terbaru dari sebuah keberanian Joe Swanberg. Swanberg mengambil sebuah keputusan yang berani, seperti tidak begitu peduli dengan script yang terlalu simple dan di beberapa bagian menampakkan efek negatif yang ia bawa, improvisasi, improvisasi, namun mampu menciptakan sebuah penggambaran konflik dengan nafas utama pada situasi sebuah kisah asmara, dibentuk dengan cara yang unik dan mungkin akan cukup sulit diterima. Ini bahkan sulit untuk menyandang sebuah pengamatan pada pertumbuhan karakter tertentu, lebih kepada sebuah kemasan mumblecore berisikan berbagai penggambaran situasional sebagai materi observasi ringan tentang relationship pada karakter yang diharuskan memilih dari dua opsi dengan batasan yang frontal.

Komedi yang ia miliki sebenarnya tidak seluruhnya bekerja dengan baik, namun itu yang justru menjadikan film ini menarik, dimana unsur komedi yang sesungguhnya telah menjadi harapan utama dari para penontonnya justru tidak berada di posisi terdepan, tapi hadir untuk sekedar mewarnai konflik batin antar karakter, sama dengan fungsi yang dimiliki oleh budaya minum beer sebagai jalan menuju konflik utama. Yak, misi utama yang ingin Swanberg sampaikan dimana komunikasi dan saling terbuka menjadi kunci sebuah hubungan asmara yang sehat mampu terus tampil fokus, walaupun terkadang cukup terganggu oleh cinematography dari Ben Richardson yang tampil seperti dua sisi koin, terkadang cantik, namun beberapa kali sempat tampil dengan rasa bingung.

Keberhasilan Drinking Buddies mencuri perhatian tidak lepas dari performa ampuh dari empat pemeran utama, mampu menciptakan sebuah chemistry yang sangat menarik, terlebih mengingat mereka banyak melakukan improvisasi pada dialog yang mereka miliki. Mereka mampu menggunakan dengan baik ruang bermain yang telah dibangun oleh Swanberg, sanggup menciptakan dilemma sederhana yang kuat dalam bentuk kisah cinta segiempat. Yap, sulit untuk membahas mereka satu per satu, karena kekuatan utama yang mereka ciptakan terletak pada chemistry antar karakter dalam menyampaikan rasa yang mereka alami kepada penonton.


Overall, Drinking Buddies adalah film yang cukup memuaskan. Film yang awkward, lucu, Drinking Buddies berhasil menjadi penggambaran yang sederhana dan efektif tentang perpaduan berbagai materi yang saling bekerja satu sama lain dalam sebuah relationship, punya kualitas akting yang mumpuni, dan dikemas dalam bentuk realitas yang cukup menyenangkan.



0 komentar :

Post a Comment