29 November 2013

Movie Review: Frozen (2013)


Tahun 2013 sebenarnya bukan tahun yang menyedihkan bagi film animasi. Mike dan Sulley kembali dalam Monsters University, Gru dan para Minion pada Despicable Me 2, dan juga The Croods bersama tampilan visualnya yang indah. Namun tidak ada satupun dari karya Hollywood itu yang berhasil mengukuhkan dirinya sebagai front runners untuk meraih status terbaik tahun ini. Penantian itu telah berakhir, Frozen (so far) adalah film animasi terbaik tahun ini, kemasan klasik yang sederhana, ringan, cerdas, dan indah. Adorable. 

Anna (Kristen Bell), anak perempuan berusia lima tahun dengan penuh semangat naik ke atas ranjang kakaknya yang berusia tiga tahun lebih tua, Elsa (Idina Menzel). Keinginan Anna sederhana, ingin menghabiskan waktu bersama, bersenang-senang di ruangan istana dengan bermain salju hasil kekuatan sihir yang dimiliki Elsa. Namun karena terlalu enerjik dan lepas kendali satu kecelakaan terjadi, hanya terjatuh memang, namun ternyata sihir yang dapat merubah segala sesuatu menjadi es itu tepat mengenai kepala Anna. Hanya ada satu cara untuk menyelamatkan nyawa Anna, dengan menghapus semua memori kelam dari ingatannya.   

Akibat insiden itu pula, dan juga sebagai upaya perlindungan, Elsa terpaksa harus terus berada dalam satu ruangan dan di asingkan dari dunia luar, termasuk Anna. Hal tersebut menyebabkan ketika dewasa disaat ia hendak dinobatkan sebagai ratu kerajaan Arendelle, rasa asing, cemas, dan takut pada diri Elsa mulai pecah. Berawal dari sebuah kejutan yang bersumber dari Hans (Santino Fontana), Elsa mulai lepas kendali, lari kehutan, dan meninggalkan kerajaan bersama bencana musim dingin dadakan, hal yang kemudian memaksa Anna untuk bergerak menemukannya, bersama dua teman barunya Kristoff (Jonathan Groff) dan Olaf (Josh Gad).


Sejujurnya selalu masih ada sedikit rasa kesal dan kecewa pada kegagalan Wreck-It Ralph meraih singgasana tertinggi pada kategori film animasi di Oscar tahun ini, sampai hari ini. Ya, sampai hari ini, karena Frozen mengobati rasa kesal tersebut, sebuah kemasan milik Disney yang berhasil menutup kelemahan yang menjadi penyebab kegagalan kemasan kokoh dan menawan yang mereka miliki tahun lalu itu dalam meraih singgasana tertinggi Oscar: pesan utama yang harus fokus dan intim, serta karakter yang ikonik dan dapat menjadi pahlawan serta idola baru. Frozen seperti menggabungkan Tangled bersama alur gerak cepat milik Wreck-It Ralph, yang kemudian ditemani karakter dan konflik dengan tipikal Disney klasik layaknya Beauty and the Beast.

Chris Buck dan Jennifer Lee sejak awal memang terkesan memilih bermain aman tanpa berupaya keras untuk menciptakan identitas baru yang kuat bagi film ini, mereka hanya melakukan modifikasi pada pattern dan formula yang sudah pernah Disney lakukan, yang celakanya justru memberikan dampak yang manis. Cerita yang mereka tulis ulang bersama Shane Morris dari buku berjudul The Snow Queen karya Hans Christian Andersen ini bahkan dibentuk dengan cara konvensional, teknik bercerita yang familiar bahkan terkesan kuno, namun sentuhan memikat dan efektif di banyak bagian kemudian menjadikan berbagai hal klasik dan sederhana berubah menjadi sebuah kesatuan penuh makna dan rasa gembira.   

Frozen adalah film animasi yang berani, dan cerdas. Secara mengejutkan ia mendorong unsur musikal ke baris terdepan, dimana Disney yang sudah identik dengan warna cerita pop kini muncul dengan nafas broadway yang elegan, menghadirkan beberapa perbincangan antar karakter layaknya panggung teatrikal seperti yang dilakukan oleh Les Misérables, penuh lirik yang catchy, jenaka, pintar, namun tetap berada dalam struktur yang rapi berkat kinerja memikat dari Kristen Anderson-Lopez dan Robert Lopez. Kokoh, ia tidak hanya berhasil menjadi arena buat para karakter berekspresi, namun juga membuat penontonnya merasa semakin dekat dengan mereka, ikut menikmati irama ketika lagu muncul, mencintai karakter, menaruh simpati, hingga ingin mereka berhasil ketika kejutan lain muncul.


Frozen penuh kejutan klasik yang dibentuk dengan manis. Ini bukan sebatas kisah tentang si baik melawan si jahat, bahkan tidak ada tokoh antagonis utama dalam cerita, Frozen sengaja dibiarkan bergerak bebas bersama kejahatan yang disuntikkan dalam bentuk personal, menghadirkan proses pembelajaran dari karakter untuk tumbuh dan menemukan jati diri mereka, well, seperti Brave. Semua dibentuk dalam sentuhan yang detail, tetap ringan, namun selalu terkontrol, dimana anda diajak bersenang-senang namun tetap ingat fokus utama dari konflik yang ia tawarkan. Hebatnya ia tidak rumit, sangat mudah di ikuti serta tidak membebani penontonnya, dimana isu persaudaraan dan cinta sejati tetap dikemas seperti sebuah dongeng anak-anak yang menjadi ciri khas Disney, indah dan sederhana.

Memang di beberapa titik sedikit kurang intens, namun Chris Buck dan Jennifer Lee tahu bagaimana memainkan momentum untuk menciptakan dinamika yang menarik pada alur cerita yang sejak awal terus bergerak halus. Akan ada kesan dimana cerita bergerak mondar-mandir, dan berjalan sedikit terburu-buru, namun secara kesatuan utuh ini solid. Tidak ada alur di sengaja yang konyol dan tidak berguna, Frozen tahu bagaimana cara yang tepat dan efektif untuk sedikit menjadi konyol dan lucu tanpa akhirnya terkesan menjengkelkan dan overdo. Bahkan sedikit paksaan dan pergeseran fokus yang ia suntikkan juga diselipkan dengan rapi dan implisit sehingga tidak mengganggu, dan tetap tidak kehilangan cengkeraman kompleksitas emosional dari karakter sehingga menciptakan kedalaman yang memikat, unsur yang sebenarnya kurang begitu menjadi ciri Disney, fast & fun.

Tampilan visual merupakan kekuatan lainnya. Dalam tiga kata: cerah, meriah, indah. Dari butiran dan badai salju, permainan es, hingga bangunan dan kostum dari para karakter, memikat. Mereka bukan hanya sebatas eye candy yang berupaya menggoda penontonnya, namun juga menambah kekayaan dari nyawa dan nafas cerita karena diolah dengan cantik dan detail. Saya sangat suka pada ekspresi dari karakter, mereka tidak sederhana, movement yang kompleks namun tetap tampak nyata, apalagi setelah berkombinasi dengan score karya Christophe Beck yang juga cantik. Yang mencuri perhatian di bagian ini justru adalah sajian pendek pembuka, kartun tradisional hitam putih Mickey Mouse berjudul Get A Horse yang masih diisi oleh suara Walt Disney, keren.  

Departemen vokal tidak kalah impresif. Tidak ada nama besar diantara mereka, karena Frozen ingin benar-benar mendapatkan kualitas vocal yang kokoh untuk memikat penonton ketimbang menggunakan reputasi para aktor untuk meraih atensi sesaat. Konsep panggung teatrikal broadway berhasil dieksekusi dengan baik, Idina Menzel tampil cemerlang dan kuat, menjadikan Let It Go, yang walaupun kurang begitu powerfull layaknya A Whole New World bahkan I See The Light milik Tangled, berhasil menemani disaat bersenandung. Josh Gad juga mampu memanfaatkan bagiannya, baik itu pada eksekusi In Summer, juga membentuk Olaf menjadi sangat menghibur tanpa menjadi menjengkelkan. Namun yang paling mengejutkan adalah performa Kristen Bell, surprise.


Overall, Frozen adalah film yang memuaskan. Frozen adalah sebuah karya penuh materi klasik yang dimodifikasi dengan gemilang. Masih dengan konsep fast & fun, penuh tampilan visual yang eye candy, meriah dan indah, diiringi musik catchy dengan sentuhan lirik yang cerdas, alur cerita yang ringan dan tidak sulit untuk diikuti, namun tetap mampu menghadirkan kehangatan dari pesan utama dengan tema cinta dan keluarga. Setidaknya untuk saat Disney aman berada di posisi terdepan, dan akan menjadi sesuatu yang sangat sangat mengejutkan jika kasus Wreck-It Ralph (yang imo lebih baik ketimbang Brave) tahun lalu terulang kembali, dan harus jatuh ditangan salah satu animasi Hollywood sebelumnya. Well done Disney!











0 komentar :

Post a Comment