10 April 2013

Movie Review: Dead Man Down (2013)


Puluhan, bahkan mungkin ratusan kebaikan skala kecil yang anda ciptakan akan dengan mudah terlupakan ketika anda melakukan sebuah kesalahan dalam skala besar yang celakanya juga akan sangat memorable. Itu yang akan anda dapatkan dari Dead Man Down, karya berbahasa inggris pertama dari Niels Arden Oplev, sutradara The Girl With Dragon Tattoo (Män som hatar kvinnor), sebuah thriller dengan cita rasa eropa.

Victor (Colin Farrell), merupakan bawahan dari Alphonse Hoyt (Terrence Howard), salah satu mafia kelas kakap. Namun keputusannya untuk bergabung bersama Alphonse ternyata tidak seperti yang kita duga. Bukan uang, bukan pula kepuasan batin, namun Victor ternyata mengemban misi terselubung untuk membalaskan dendamnya kepada Alphonse, yang berasal dari sebuah insiden yang merenggut nyawa istri dan anak perempuan tercintanya dua tahun lalu. Semua menjadi rumit karena hadir dua kasus yang menghalangi misi utamanya.

Sumber pertama adalah Alphonse itu sendiri, yang ternyata juga telah menjadi sasaran dari criminal Jamaika, yang secara spontan ikut meningkatkan tingkat penjagaan pada dirinya. Di sisi lain hadir Beatrice (Noomi Rapace), wanita dengan bekas luka diwajah yang menjadikan ia kerap disapa monster, seorang tetangga yang kerap menyaksikan Victor secara diam-diam melalui jendela apartemennya. Alphonse punya misi sendiri, Victor punya misi sendiri, dan celakanya Beatrice juga memiliki misi sendiri, yang ikut melibatkan Victor.


Seperti yang saya harapkan sejak awal, Dead Man Down berhasil hadir dengan ciri khas yang saya ingin saksikan dari Niels Arden Oplev, dimana ia membawa penontonnya berjalan pelan dan nyaman, menghadirkan cerita yang kokoh, simple namun di bentuk seolah tampak begitu kompleks, dan mampu membuat penontonnya penasaran dengan pertanyaan kemana ia akan berjalan. Suasana crime yang ia ciptakan terasa sangat kentara, dan itu dibalut dengan thriller yang sanggup memanfaatkan setiap bagian yang ia miliki.

Sayang sekali, semua hal indah tersebut hanya saya rasakan di bagian awal film, saat dimana semua misteri itu masih terasa gelap dan belum terurai terlalu jauh. Ya, hanya bagian awal yang saya rasa akan memiliki beberapa momen memorable, karena setelah ia berjalan semakin jauh Dead Man Down seperti terjatuh dalam sebuah lubang yang tidak memberikannya kesempatan untuk keluar, semua akibat ia tidak sabar untuk membuka semua misteri yang ia miliki. Terasa terlalu frontal bagi saya, menjadikan hal yang sebenarnya menjadi nilai utama yang ia jual justru kehilangan daya tariknya dalam kurun waktu yang singkat dan cepat.

Ya, saya paling benci dengan film dengan tipe seperti Dead Man Down, memberikan anda sebuah misteri yang dibangun dengan baik diawal cerita, namun dengan begitu beraninya memberikan porsi yang cukup besar dari setiap misteri yang ia bongkar, dan celakanya tidak menyisakan setidaknya beberapa bagian menarik yang mungkin kelak akan mampu menghadirkan mengejutkan. Hasilnya, saya merasa yang tersisa hanyalah proses berisikan penantian, yang cukup menyedihkan karena selain ceritanya yang sebenarnya klasik dan cukup predictable, Dead Man Down perlahan sudah kehilangan daya tariknya dalam jumlah yang besar.


Ini yang terjadi pada Dead Man Down, diawal anda tidak berharap banyak, ketika ia mulai hadir perlahan anda mulai menaikkan ekspektasi anda berkat konflik yang menarik serta script yang tampak meyakinkan, namun menjelang memasuki bagian tengah film anda perlahan mulai merasa bosan, bosan, dan semakin bosan sehingga nilai yang ia miliki perlahan berkurang, dan boom, hadir sebuah ending yang cukup memang menarik dari tampilan visual, namun tampak bodoh untuk mengakhiri semua misteri yang telah ia bangun sejak awal.

Well, ini menjadi bukti bahwa mengendalikan sebuah film dengan bahasa yang bukan merupakan bahasa dasarnya akan menjadi sebuah tantangan bagi semua sutradara. Ya, Niels Arden Oplev seperti merasa kurang bebas dalam mengembangkan cerita yang ia miliki, seolah terpaku dengan script yang diberikan kepadanya. Memang tidak hancur, namun keterikatan yang sangat kuat tersebut menjadikan apa yang ia berikan sangat tergantung pada kemampuan script untuk menarik perhatian penontonnya. Akibatnya, ketika cerita itu menarik film juga ikut menjadi menarik, dan sebaliknya.

Dead Man Down beruntung karena ia berisikan para pemain yang mampu memberikan kinerja yang baik. Ya, tidak ada satupun dari mereka yang sanggup tampil sendiri didepan, dan menjadi sosok yang memorable untuk waktu yang lama. Semua standard, mampu menjalankan tugasnya sesuai dengan porsi yang ia miliki, dan beberapa kali menyuntikkan daya tarik kedalam cerita. Farrell tidak tampil brilliant, namun berhasil menjaga misteri yang berada disekitar karakternya tetap hidup untuk beberapa saat. Begitupula dengan Noomi Rapace yang seperti tampak mengerti keinginan dari Niels Arden Oplev, namun kurang bersinar karena memiliki kapasitas yang terbatas pada cerita.


Overall, Dead Man Down adalah film yang kurang memuaskan. Sekali lagi, film ini hanya menarik diawal, seiring berjalannya waktu perlahan mulai runtuh dalam skala yang memang sangat kecil, namun celakanya mengalami degradasi yang sangat besar di bagian penutup. Berjalan pelan dan tenang menjadikan film ini menarik, sekaligus bukti bahwa Niels Arden Oplev tidak berperan besar dalam kegagalan film ini. Sumbernya adalah script, yang seperti terasa kehilangan arah dan tampak bingung di bagian tengah. Saksikan, dan anda akan juga akan merasakan rasa bingung yang dimiliki oleh J.H. Wyman pada cara untuk mengakhiri film ini.



0 komentar :

Post a Comment