23 April 2014

Movie Review: Blood Ties (2013)


"Some guys, the don't keep their promises." 

There’s no limit for family. Anda boleh bimbang ketika hendak melakukan sesuatu untuk kekasih anda, rasa ragu ketika akan memberikan pertolongan kepada sahabat terbaik anda, namun hal tersebut tidak boleh hadir jika sudah mengikut sertakan masalah terkait keluarga anda didalamnya. Ya, tidak ada kalimat “how far” dalam hubungan keluarga, help each other in sadness and happiness. Hal tersebut yang coba digambarkan oleh film ini, Blood Ties, dark and soft family story.   

Sangat mudah untuk merasa jengkel pada Chris Pierzynski (Clive Owen), pria berjiwa bebas yang seolah selalu bertindak sesuka hati tanpa peduli aturan. Chris bukan tipe orang yang senang dengan sesuatu yang rumit, ia bahkan tanpa rasa malu langsung menuju rumah mantan kekasihnya, Monica (Marion Cotillard), untuk bertemu dengan anak yang telah ia tinggalkan begitu lama karena harus mendekam di penjara, setelah sebelumnya mengunjungi ayahnya, Leon (James Caan) bersama dua saudaranya, adik perempuannya Marie (Lili Taylor), dan juga Frank (Billy Crudup), saudara laki-laki yang uniknya bekerja sebagai polisi NYPD.

Itu yang menjadi dilema, karena berkat Frank, yang juga memiliki masalah lain dengan wanita bernama Vanessa (Zoe Saldana) dan kekasihnya Anthony (Matthias Schoenaerts), Chris mendapatkan jaminan dikarenakan profesi saudaranya tersebut, namun dilain sisi ia juga mulai kembali membuat kekacauan baru, mulai terpikat untuk kembali masuk kedalam dunia kriminal dan bertemu teman lamanya yang bernama pembunuhan serta pencurian, dan celakanya semua itu ikut menyeret orang disekitarnya kedalam masalah, dari seorang wanita yang baru ia kenal bernama Natalie (Mila Kunis), hingga menghadirkan dilema dan tekanan pada Frank.


Sangat mudah untuk menjabarkan Blood Ties kedalam kalimat sederhana: kisah klasik yang potensial namun tumbuh secara berantakan. Remake dari thriller Perancis berjudul Les liens du sang ini punya potensi besar untuk membawa sebuah gambaran dengan perspektif sederhana terkait sebuah persaudaraan, namun Guillaume Canet seperti terlena ketika membentuk cerita yang ia tulis kembali bersama James Gray ini. Nyala api dari tiap masalah sepanjang cerita terus dijaga agar tampil kecil, yang penting tetap hidup mungkin seperti itu upaya yang mereka ingin ciptakan sembari terus membangun kekuatannya dengan bermain-main bersama kisah pengkhianatan dan aksi manipulasi. Hasilnya, premis ringan itu perlahan menjadi terasa keruh.

Blood Ties mencoba sangat kuat untuk dapat tampil kompleks dan rumit. Ada pergerakan yang liar dan mungkin akan terkesan berlebihan, dimana kita sebagai penonton akan bertemu dengan berbagai subplot yang melimpah namun juga menggantung, menciptakan lika-liku masalah untuk menghadirkan ruang bagi eksplorasi berbagai isu, dari rumah tangga, cinta baru, cinta lama, hingga hubungan keluarga, tapi sayangnya hanya yang terakhir itu yang akan memberikan sebuah kenikmatan, sisanya hanya berisikan hawa nafsu klise dengan penggalian mentah yang bukan hanya berpotensi menghadirkan kesan pointless di akhir cerita namun juga ikut menggerus kekuatan dari fokus utama.

Yap, tumpukan masalah yang coba disatukan namun terasa kasar akibat tidak terkontrol dengan baik. Dinamika cerita yang tercipta tampil kurang memikat disini, stabil cenderung datar, energi kerap terasa loyo akibat fokus yang terpecah belah menjadi beberapa bagian. Seperti karakter yang perlahan merasa letih, penonton mungkin akan mudah untuk ikut pula merasa letih menyaksikan berbagai skenario yang sibuk itu, kita dapat melihat bahwa cerita itu berkembang namun eksekusi yang ia hadirkan kurang mampu meninggalkan kesan yang mendalam karena pergerakan yang ia hasilkan terasa sangat minim. Tapi ada satu cara untuk at least mendapatkan kepuasan dari Blood Ties, taruh kisah persaudaraan itu sebagai fokus utama.


Ada permainan emosi terkait batin antara Chris dan Frank yang menarik disini, dan itu terasa kuat. Finale yang ia hadirkan akan menciptakan ledakan emosi yang cukup besar berkat ketukan yang Canet ciptakan pada dua karakter ini, worthed sekalipun faktanya untuk itu ia telah dan harus mengorbankan banyak karakter dalam tahapan yang terkesan pemalas dan tanpa motivasi ketika menuju babak akhir. Ada diam pada adegan di stasiun kereta api itu, hadir makna keluarga yang powerfull dan mungkin akan membuat penontonnya setelah itu bergegas mengambil gadget dan kemudian mengontak saudara mereka untuk sekedar say hi dan bertanya apa kabar. I love that scene.

Kinerja pada aktor juga terasa manis. Clive Owen tampil mumpuni, dibalik ekspresi wajah dengan mata dan senyum yang sukses menghadirkan rasa jengkel itu ia juga mampu menampilkan situasi karakter miliknya yang berani namun juga punya rasa lelah didalam jiwanya. Chemistry mereka memang terlalu simple, namun ikatan persaudaraan yang ia bangun dengan Billy Crudup juga berhasil hidup hingga akhir. Nama  terakhir juga berhasil menggambarkan dilema yang ia alami, antara profesi dan keluarga, aksi penuh ketenangan dibalik kekacauan yang eksis disekitarnya. Yang disayangkan mungkin adalah trio, Marion Cotillard, Mila Kunis, dan Zoe Saldana, kinerja yang efektif namun terasa kurang tepat untuk berperan sebagai pemanis belaka, punya konflik potensial yang justru ditinggalkan.


Overall, Blood Ties adalah film yang cukup memuaskan. Ini terasa berantakan karena ia terlalu sibuk membangun tahapan-tahapan multi-focus sebagai upaya untuk memperkuat fokus utama terkait persaudaraan dalam gerak yang kurang cekatan. Mencoba rumit dalam gerak mondar-mandir yang lamban, mudah untuk merasa lelah dan jengkel, namun kinerja para aktor mampu menghadirkan jiwa dalam cerita sehingga ketika konklusi itu muncul tercipta sebuah kesimpulan sederhana yang terasa tajam.







0 komentar :

Post a Comment