22 August 2014

Review: Lucy (2014)


"There are more connections in the human body than there are stars in the galaxy."

Semoga saja kamu belum bosan melihat wajah Scarlett Johansson tahun ini, karena setelah memberikan suaranya di film dengan sentuhan sci-fi dan fantasy berjudul Her wanita seksi satu ini telah tampil di tiga buah film lainnya, dua diantaranya juga berada di genre tadi dimana ia sukses memberikan penampilan yang mencuri perhatian. Nah, film ini memetik keuntungan dari kemampuan ScarJo kembali melakukan hal tadi, Lucy, pelengkap trilogy science fiction dan fantasy pribadi Scarlett Johansson tahun ini. 

Mahasiswa asal Amerika yang sedang study di Taipe bernama Lucy (Scarlett Johansson) mendapatkan bencana, ia ditipu oleh pacarnya dan kemudian masuk kedalam perangkap drug lord bernama Mr. Jang (Min-sik Choi), pria yang kemudian menggunakan perut Lucy sebagai media penyimpan obat yang bernama CPH4. Celakanya obat tersebut secara tidak sengaja masuk kedalam sistem tubuh wanita tersebut, yang lantas memberikannya kemampuan baru dari mental hingga psikis yang berbahaya. 


Kalau kamu merupakan tipe penonton yang mencoba mencari tahu informasi sebuah film sebelum menontonnya, kamu pasti akan tersenyum dan mungkin sedikit meragu ketika melihat nama Luc Besson sebagai nahkoda utama film ini. Pria dibalik Taken dan Transporter ini merupakan sutradara yang menurut saya karyanya identik dengan hit or miss, terkadang ia mampu membawamu kedalam petualangan menyenangkan, terkadang hiburan yang kamu dapatkan darinya akan terasa menjengkelkan. Lucy berada diantara dua hal tadi, sinopsis menjanjikan menghasilkan sebuah sci-fi yang akan menimbulkan dilema antara menyukainya atau justru membencinya. 



Sumber adalah keputusan Luc Besson yang disini seperti ingin menyatukan dua warna. Pertama ia tampak ingin memanfaatkan kekuatan super yang dimiliki karakter untuk memberikan sebuah film action dengan tembak-menembak yang dikemas sesuai ciri khasnya, ringan, gerak  cepat, humor seadanya, dan tampil dengan sedikit ceroboh. Yang kedua, ia seolah ingin lebih pintar dari Limitless dengan memasukkan unsur art-house kedalam film ini, mencoba mengajak penonton meresapi makna evolusi dan konsep ilmiah untuk menemani pesta dengan kemampuan mencuri perhatian cukup tinggi yang berdiri disampingnya. 


Menarik bukan? Sayangnya kombinasi yang dihasilkan kurang kuat, dan ini yang akan memecah penonton, mereka suka jika unsur kedua tadi tidak hinggap di otak mereka, tapi mereka akan kecewa jika unsur kedua mengacaukan kenikmatan unsur pertama. Hasilnya canggung, Lucy seperti terbebani oleh upaya untuk menyatukan dua ide tadi, mengandalkan efek visual menemani sisi action yang dipompa tinggi, kemudian teka-teki yang mencoba sedikit menampilkan filosofi ilmiah. Under the Skin berjaya karena ia hanya membawa satu tujuan, dan kurang cermatnya Luc Besson dalam mencampur dua tujuan yang ia bawa menciptakan inkonsistensi dari kenikmatan yang dimiliki Lucy untuk menghibur dan tidak menciptakan dilema pada penontonnya. 


Ada dua opsi yang akan kamu peroleh ketika menyaksikan Lucy, jika kamu terjebak sepenuhnya bersama Scarlett Johansson yang tampil baik dalam thrill elemen action dan berpacu dengan waktu, kamu akan terhibur tingkat tinggi, tapi jika kamu mampu merasakan hadirnya inkonsistensi pengembangan serta fokus pada penggambaran konsep brain capacity yang ia bawa, maka bersiaplah menyambut hadirnya senyuman masam untuk kemudian bertarung dengan senyum bahagia yang telah hadir sebelumnya. 







0 komentar :

Post a Comment