07 September 2014

Movie Review: Hercules (2014)


"I am Hercules!"

Tidak hanya rasa antusias, tapi rasa ragu juga mulai sering muncul dari film dengan tipe seperti ini, film adaptasi dari komik hingga buku dongeng yang mulai menjadi sasaran empuk bagi para insan perfilman untuk dibawa kedalam bentuk live acion, dari Snow White dan Sleeping Beauty, tahun ini kita juga sudah punya MaleficentTMNT, dan The Legend of Hercules. Bahagia akan tercipta jika mereka berhasil menghibur dengan baik, tapi bagaimana jika sebaliknya? Hercules, a charmless adventure with the son of Zeus.

Setelah menolak sang ayah Zeus dan lebih memilih untuk hidup sebagai manusia biasa, Hercules (Dwayne Johnson) kini mulai berpetualang dengan status sebagai seorang tentara bayaran bersama rekan-rekannya, Autolycus (Rufus Sewell), Amphiaraus (Ian McShane), Atalanta (Ingrid bolso Berdal), Tydeus (Aksel Hennie), dan keponakannya Iolaus (Reece Ritchie). Namun statusnya sebagai demigod masih terjaga, terlebih dengan keberhasilannya menyelesaikan Twelve Labors, mereka semakin mudah mendapatkan pekerjaan.

Salah satunya datang dari King of Thrace, Lord Cotys (John Hurt). Berawal dari Ergenia (Rebecca Ferguson), Lord Cotys meminta bantuan Hercules dan timnya untuk melatih tentara miliknya agar dapat bertarung melawan musuh mereka yang berada dibawah komando Rheseus (Tobias Santelmann). Namun kisah masa lalunya dengan sang istri, Megara (Irina Shayk), serta sesuatu janggal yang ia rasakan kemudian menjadikan misi yang menjanjikan berkarung-karung emas bagi mereka itu menjadi sumber masalah yang lebih besar.


Secara kasat mata penonton mungkin akan merasa mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan dari Hercules di film ini, adegan aksi yang cukup baik, dan tentu saja aksi tokoh utama yang ditunjang oleh kumpulan otot yang memukau itu. Tapi hal-hal tadi sesungguhnya dapat anda temukan dari banyak film action dengan ledakan tingkat tinggi bersama karakter standard yang bahkan tidak perlu repot meminjam sosok legenda ikonik sebagai pemimpin utamanya. Hal itu yang mengecewakan dari film ini, Brett Ratner seolah tidak peduli dengan berbagai materi yang menjadi alasan mengapa orang selalu mengidentikkan sosok kuat dan tangguh bukan hanya dengan nama Rambo, namun juga Hercules.

Ya, Hercules dipasang sebagai central, kemudian berbagai karakterisasi yang menjadi alasan mengapa selama ini ia tampak menawan di minimalisir dengan berani, lalu ia dimasukkan kedalam sebuah pertarungan standard yang sesungguhnya bisa dibangun hanya dengan menciptakan sosok baru yang berotot serta menggunakan pedang dan sandal lainnya. Pesona yang diharapkan tidak hadir disini, tidak ada kepahlawanan yang bukan hanya memikat bahkan untuk tampil mumpuni saja terasa sulit, kisah yang ditulis oleh Ryan J. Condal dan Evan Spiliotopoulos seolah mengajak kita para penonton bukan untuk bersenang-senang bersama pahlawan super yang ia kenal, tapi berpetualangan bersama visual yang terus mencoba sibuk ditemani tentara bayaran yang hanya peduli tentang uang.


Tidak dapat dipungkiri memang bahwa adegan aksi yang ia berikan masih mampu memberikan sedikit hiburan yang menyenangkan, namun jika anda menilainya sebagai film action standard. Celakanya Hercules tidak mampu tampak sama besarnya dengan budget yang ia punya, serta otot-otot milik Dwayne Johnson yang kurang mampu menutup karisma miskin yang ia miliki. Permainan pedang, perisai, hingga panah itu lebih sering terasa dipakai sebagai pengalih perhatian penonton pada kisah yang semakin jauh ia berjalan dari titik awal semakin tampak bingung apa lagi yang harus ia berikan. Hal tersebut merupakan dampak dari keputusan mereka untuk menarik mundur peran dari mitologi Yunani kuno di dalam cerita, sehingga ketika berbagai formula skala besar dari film action standard telah tampil Hercules mulai terombang-ambing dalam kesibukan yang setengah hati.

Benar, setengah hati, bahkan dapat dikatakan ini merupakan film bertemakan kepahlawanan yang mandul. Charmless, lebih sering terasa kosong, kisah yang seharusnya berisikan eksploitasi dari keperkasaan tokoh utama justru terasa tumpul akibat obsesi besar Brett Ratner untuk menyajikan action yang megah tanpa menyertakan penceritaan yang mumpuni. Beban juga dapat menjadi alasan lainnya, kombinasi budget besar bersama cerita yang standard, mereka sepertinya sadar ini tidak akan berhasil jika tampil rumit yang memaksa mereka untuk tampil biasa dan tidak peduli ini fun atau tidak, narasi berantakan penuh komedi yang mampu mencuri atensi sebagai pembuka jalan menuju adegan perkelahian dengan rating PG-13 yang terlalu lembut dan kekurangan semangat.


Overall, Hercules adalah film yang kurang memuaskan. Pertanyaannya adalah apa yang anda cari dari film ini, hanya sekedar sebuah film action standard atau sebuah kemasan modern dari legenda yang sudah identik dengan unsur ketangguhan yang epic dan penuh pesona? Memilih untuk tampil dengan cerita yang tidak terlalu serius, Hercules akan mampu menghibur penonton yang hanya mencari film action, namun akan sulit untuk memuaskan mereka yang datang untuk berpetualang bersama manusia setengah dewa yang penuh pesona. Tidak membosankan, tapi charmless.







0 komentar :

Post a Comment