07 September 2014

Movie Review: Sin City: A Dame to Kill For (2014)


Death is just like life in Sin City. It always wins.

Ketika ia muncul hampir satu dekade yang lalu Sin City adalah sebuah kemasan yang mengejutkan, sebuah hiburan style over substance yang seperti namanya mencoba mengajak penonton menyaksikan aksi gila bersama berbagai dosa dari sex & violence yang dikemas secara santai dan seksi dalam dunia hitam dan putih. Sayang sekali istirahat yang lama itu ternyata memberikan efek pada sensasi yang diberikan film keduanya ini. Sin City: A Dame to Kill For, the babe wore blue in lost, lonely, & lethal adventure, exciting and boring almost at the same time.

Masih dengan tampang kokoh tanpa rasa takut yang ia miliki, Marv (Mickey Rourke) masuk kedalam bar langganannya setelah meladeni sekelompok anak muda yang memanggilnya Bernini Boy, duduk dan kemudian menyaksikan stripper favorit semua pengunjung bernama Nancy Callahan (Jessica Alba) yang beraksi dibawah stress untuk membalaskan dendam kematian John Hartigan (Bruce Willis). Di bar tersebut pula ia bertemu dengan beberapa sosok baru yang ia tawarkan bantuan, mereka yang sedang terlibat dalam berbagai masalah.

Pria pertama bernama Johnny (Joseph Gordon Levitt), seorang pejudi dengan keahlian tinggi yang menjadikan kekalahan seperti tidak memiliki celah untuk menghampirinya. Namun suatu ketika kedatangannya bersama Marcie (Julia Garner) menciptakan masalah besar baginya yang berasal dari Senator Roark (Powers Boothe). Kemudian Marv juga bertemu dengan Dwight McCarthy (Josh Brolin), pria yang setelah mengintai Joey (Ray Liotta) dan  Sally (Juno Temple) justru jatuh kembali kedalam masalah yang berasa dari mantannya, Ava (Eva Green), wanita yang selalu mampu “menyiksanya” secara fisik dan juga mental.


Ya, ini menarik serta membosankan, dan mereka hadir dalam rentang waktu yang hampir tidak begitu besar. Masih dengan formula yang sama, masih dengan kegilaan yang sama besarnya, harus diakui Robert Rodriguez dan Frank Miller terhitung cukup sukses untuk menghidupkan kembali dunia dimana mereka bebas untuk berekspresi dalam mengeskploitasi dosa yang diambil dari Sin City series milik Frank Miller. Tidak jauh dari pendahulunya, kemasan kedua ini tetap menyuguhkan konten-konten dalam sentuhan hitam putih dengan penempatan warna yang manis yang dibentuk dalam cita rasa hyper untuk kemudian menembus pikiran penontonnya agar ikut berfantasi bersama kegilaan.

Lantas apakah Sin City: A Dame to Kill For berhasil menghibur sama baiknya seperti pendahulunya itu? Kurang. Dapat dikatakan ini adalah hiburan yang terasa sangat seimbang, ada semangat yang mampu ia pancarkan dari berbagai aksi yang mampu membuat penontonnya tersenyum kecil sembari berkata “gila”, semangat yang lantas menjadikan rasa penasaran pada apa yang kemudian akan ia hadirkan semakin terus terjaga dengan stabil. Tidak heran memang, fantasi yang di bangun dengan liar, kemudian dibalut bersama visual yang tak pernah berhenti mempermainkan mata dengan cara yang nakal, kekejaman over-the-top yang tampil sombong dalam ketenangan yang bergerak cepat, itu sudah cukup untuk menjauhkan rasa lelah pada penonton.


Masalahnya adalah hal-hal yang sepintas tampak potensial tadi ternyata tidak hadir bersama penceritaan dengan dinamika yang menarik. Ia memang berhasil menjebak penontonnya kedalam petualangan ini, namun ia tidak berhasil memanipulasi penonton untuk terlibat jauh lebih dalam secara merata. Tentu saja tidak mengharapkan sesuatu yang sangat mumpuni pada sektor cerita, meskipun memang narasi yang ia berikan terasa sedikit lebih baik jika dibandingkan dengan film pertamanya, namun kesuraman dunia yang coba ia tampilkan terkadang terasa terlalu muram. Kurang hidup, menjadikan perjalanan dari para karakter seperti tidak mengalir dengan baik dan benar, hal yang lantas menggerus salah satu faktor kunci yang paling penting dari Sin City, daya tarik karakter.

Itu mengapa diawal saya menyebutkan the babe wore blue, wanita yang menggunakan pakaian biru, dan dia adalah Eva Green. Ini terasa seperti all about Eva Green, all about Ava, hanya permasalahan yang bertumpu padanya yang mampu konsisten tampak “menarik”. Akibatnya cukup signifikan, ketika kita berpindah ke sub bab lainnya daya tarik tidak sama besar, yang lalu menjadikan tumpahan visual yang ditangkap oleh mata tidak terasa menarik dan membuat penonton berpindah kedalam mode menunggu. Penempatan porsi juga menjadi masalah, karena sesungguhnya Joseph Gordon Levitt punya konflik yang tidak jauh kalah menariknya namun harus terkubur mati akibat proses menunggu yang terlalu lama, sehingga ketika ia hadir kembali sensasi itu telah sirna.


Benar, sensasi itu yang hilang di kemasan kedua ini. Jika di nilai dari segi karakter sebenarnya ada sebuah upgrade yang mumpuni, namun pembagian peran dan daya tarik yang mereka miliki terasa sangat tidak seimbang. Rosario Dawson bahkan seperti pelengkap yang semata-mata disengaja, sama halnya dengan Bruce Willis dimana konfliknya dengan Jessica Alba dikemas setengah hati sehingga kehadirannya lebih sebagai penambah nilai jual serta memperindah poster. Dari sisi akting Joseph Gordon Levitt berada di baris terdepan, mampu menjadikan kelicikan yang ia punya tampak menarik. Di belakangnya ada Eva Green yang selalu mampu tampil baik ketika harus mengeksploitasi keseksian yang miliki.


Overall, Sin City: A Dame to Kill For adalah film yang cukup memuaskan. Sulit untuk mengatakan bahwa mereka yang suka dengan film pertamanya akan otomatis menyukai pula film keduanya ini. Apa yang mereka berikan mayoritas memang sama, visual yang mumpuni, kekejaman tanpa rasa takut yang dikemas bersama sentuhan nakal dan seksi, dan kali ini ditambah dengan kehadiran scene stealer pada diri Eva Green yang lantas menciptakan dua bagian, aksi menikmati, dan aksi menunggu, penyebab dari dinamika dari tensi yang kurang menarik yang lantas menggerus daya tarik dan juga sensasi yang mereka hasilkan.







0 komentar :

Post a Comment